Rabu, 10 Desember 2008

Perbedaan Pendefinisian Cybercrime

Cybercrime secara umum dapat diartikan sebagai sub katagori dari kejahatan komputer. Terminologi tersebut merujuk pada penggunaan internet atau jaringan komputer lainnya sebagai komponen dari kejahatan. Komputer dan jaringannya dapat dilibatkan dalam kejahatan terdiri dari beberapa jalan (Legal Framework For Combating Cybercrime 2002: 3-4):

  1. Komputer sebagai alat (computer as a tool)
  2. Komputer sebagai media penyimpanan (computer as a storage device)
  3. Komputer sebagai target (computer as a target)

Namun demikian dalam ranah akademisi dan praktisi belum ada kesepakatan definisi mengenai kejahatan komputer (cybercrime), hal ini disebabkan perbedan sudut pandang dan penekanan para ahli tersebut. Ian Walden ( 2007: 20) menjelaskan bahwa ada perubahan paradigma dari penyalahgunaan komputer (computer abuse) kepada kejahatan komputer (cybercrime). Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa perbedaan pendefinisian tersebut terkait dengan 5 (hal), yaitu: (i) technology-based; (ii) motivation-based; (iii) outcome-based; (iv) communication-based; dan (v) information-based.

Pemahaman yang berdasar pada teknologi, memandang kejahatan tersebut dari teknologinya yaitu teknologi komputer. Pendekatan ini digunakan oleh Departemen Hukum Amerika Serikat[1] yang mengkatgorikan kejahatan ini menjadi 3 (tiga), yaitu: (i) komputer sebagai objek kejahatan, komputer sebagai subjek dari kejahatan, dan komputer sebagai instrumen kejahatan.

Pemahaman kedua adalah pemahaman yang berdasarkan pada motivasi atau dorongan pelaku tindak pidana (motivation-based) dari kejahatan komputer. Misalkan pendapat Thomas dan Loader ( 2000 : 6 -7)[2] yang mendefinisikan 3 (tiga) katagori pelaku kejahatan yaitu: (i) hacker dan phreaks, (ii) Information merchants, mercenaries dan terrorist, dan (iii) exremist dan deviants. Motivasi utama kelompok pertama adalah rasa keingintahuan bukan niat jahat. Sementara kelompok kedua, motivasinya ekonomi yaitu mendapatkan keuntungan berupa uang. Sementara kelompok terakhir, motivasinya lebih ke arah politik dan aktivitas sosial. Pemahaman ketiga adalah berdasarkan

pemahanan yang berlandaskan hasil ( outcome-based). Penganut pemahaman misalkan BloomBacker dalam The EDP Auditor Jurnal II (1999 : 39)[3] bahwa kategori dari kejahatan ini dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu kejahatan terhadap orang (person), properti (property) dan negara. Sehingga dari ketiga kejahatan tersebut lebih lanjut menurutnya kejahatan dimaksud dapat dikelompokan menjadi 4 (empat), yaitu: (i) cyber-violance, (ii) Cyber-obsenity, (iii) cyber-theft, dan (iv) cyber-trespass.

Pemahaman keempat berdasarkan pada jaringan komunikasinya dibandingkan dengan perangkat komputernya (communication-based). Para ahli hukum dan praktisi yang melihat kejahatan ini berdasarkan sistem komunikasinya berpedapat bahwa kejahatan ini dapat dikatagorikan menjadi beberapa jenis, misalkan (i) ilegal communication misalkan penyebaran virus, barang-barang hasil pelanggaran hak cipta, pornografi); (ii) Unsolicited communication, misalkan Spam; (iii) unauthorized communication, misalkan hacking, DdoS attack.

Pemahaman terakhir adalah melihat kejahatan ini berdasarkan informasi (information-based). Informasi dapat menjadi target dari para pelaku kejahatan bahkan motivasi untuk melakukan kejahatan. Informasi sebagai target misalkan data kartu kredit dari website keuangan yang di-hack.
Pendefinisan cybercrime yang dianut dalam The Council of Europe Convention on Cybercrime. Menurut Walden (2007: 24) Apabila dilihat melalui pendekatannya maka konvensi ini mengantut pendekatan teknologi (technology-based) serta informasi (information-based). Kovensi tersebut secara subtansif membagi kejahatan komputer (cybercrime) menjadi empat, dimana disini direduksi menjadi tiga, yaitu: computer-related crime, content-related crime dan computer integrity offences.

Kategori pertama, merupakan kategori tradisional dari kejahatan yang menggunakan komputer sebagai instrumen kejahatan, misalkan penipuan. Kategori kedua, content-related crime, seperti pelanggaran terhadap hak cipta, pornografi, menekankan penggunaan komputer dan jaringannya sebagai sarana untuk pendistribusian informasi yang ilegal atau informasi yang melawan hukum. Walapun keduanya sama-sama menggunakan komputer sebagai alat atau instrumen dalam melakukan tindak pidana, namun keduanya tetap dapat dibendakan. Ian Walden (2007: 23) mengatakan perbedaannya ialah dalam computer-related crime, data atau informasi yang merupakan hasil pemerosesan merupakan juga termasuk dalam pengertian alat atau instrumen untuk melakukan tindak pidana.

Sementara dalam content-related crime, data atau informasi adalah tindak pidana, bukan sebagai alat atau instrumen. Kategori ketiga, adalah tindak pidana yang lebih difokuskan khususnya pada aktivitas yang menyerang keutuhan atau integritas dari sistem komputer dan komunikasinya, seperti menyebarkan virus komputer.



Redspectra | Design: NET-TEC of Vollholzmöbel. Coding: Lasik of Cocktailkleider